Unduh versi PDF Dasbor Interaktif Unduh Daftar Pustaka
Akselerasi Elektrifikasi dan Transisi Energi Berkeadilan di Wilayah Pedesaan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Ringkasan Eksekutif
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara konsisten menghadapi tantangan signifikan dalam sektor kelistrikan, tercermin dari Rasio Elektrifikasi (RE) dan Rasio Desa Berlistrik (RDB) yang termasuk terendah di Indonesia.1 Laporan ini mengidentifikasi adanya "kesenjangan ganda" (dual gap) yang melampaui metrik konvensional: pertama, keberadaan desa dan dusun yang sama sekali belum tersentuh aliran listrik (gelap gulita); dan kedua, desa yang terlayani listrik secara terbatas, umumnya di bawah 12 jam per hari, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan.4
Skala tantangan diperparah oleh kondisi geografis yang ekstrem, mencakup ribuan pulau, topografi pegunungan terjal, dan sebaran permukiman yang terpencar. Hambatan ini diperumit oleh kendala administratif, terutama proses perizinan yang kompleks untuk pembangunan jaringan yang melintasi kawasan konservasi dan hutan negara 5, serta keterbatasan ekonomi rumah tangga untuk menyambung daya meskipun jaringan telah tersedia.7
Namun, di tengah krisis ini, terdapat peluang strategis yang luar biasa. NTT memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) dalam skala gigawatt, khususnya energi surya, angin, dan panas bumi, yang merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.8 Paradoks ini menempatkan desa-desa yang belum terlistriki pada posisi unik untuk melakukan "lompatan" (leapfrog), melewati fase ketergantungan pada energi fosil dan langsung mengadopsi solusi energi bersih terdesentralisasi yang andal (24/7). Strategi ini selaras dengan agenda transisi energi nasional, termasuk komitmen dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target de-dieselisasi pemerintah.10
Laporan ini merekomendasikan serangkaian intervensi strategis yang berfokus pada: (1) Reformasi kebijakan untuk mengatasi metrik keberhasilan yang kurang akurat dan menyederhanakan hambatan birokrasi perizinan; (2) Pengembangan model investasi inovatif yang memprioritaskan proyek EBT skala kecil dan menengah; serta (3) Adopsi teknologi microgrid (jaringan listrik skala kecil) terdesentralisasi sebagai tulang punggung akselerasi elektrifikasi yang berkeadilan dan berkelanjutan di NTT.
Bab 1: Lanskap Elektrifikasi Nusa Tenggara Timur: Kesenjangan Struktural dan Konteks Pembangunan
1.1 Metrik Kesenjangan: Analisis Rasio Elektrifikasi (RE) dan Rasio Desa Berlistrik (RDB)
Analisis kuantitatif menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya elektrifikasi di NTT, namun provinsi ini masih tertinggal jauh dari rata-rata nasional. Data PT PLN (Persero) per Desember 2023 mencatat Rasio Desa Berlistrik (RDB) mencapai 94,60% dan Rasio Elektrifikasi (RE) total sebesar 94,89%.12 Proyeksi untuk tahun 2024 menunjukkan peningkatan lebih lanjut, dengan target RDB 96,51% dan RE 96,35%.13
Meskipun angka ini menunjukkan tren positif yang signifikan jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2018 di mana RE baru mencapai 62,88% 12, laju peningkatannya belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dari wilayah lain. Sebagai perbandingan, RE nasional per Desember 2024 telah mencapai 99,83%.14 Fakta bahwa NTT pada akhir tahun 2022 masih tercatat sebagai provinsi dengan RE terendah di Indonesia (92,70%) menegaskan adanya permasalahan yang bersifat struktural dan mendalam.2 Kesenjangan ini menuntut adanya pendekatan yang lebih agresif dan inovatif untuk mencapai target elektrifikasi 100%.
1.2 Mengurai "Kesenjangan Ganda" (The Dual Gap)
Metrik RDB, yang sering digunakan sebagai indikator utama keberhasilan, dapat memberikan gambaran yang kurang akurat mengenai kondisi riil di lapangan. Sebuah desa yang secara administratif diklasifikasikan sebagai "berlistrik" belum tentu seluruh warganya menikmati akses energi yang memadai. Terdapat dua masalah mendasar yang tersembunyi di balik angka RDB.
Pertama, kualitas dan durasi layanan. Banyak desa di daerah terpencil, terutama di pulau-pulau kecil, dilayani oleh PLTD yang hanya beroperasi selama 6 hingga 12 jam per hari.4 Contohnya, sebelum adanya interkoneksi sistem, masyarakat di Kecamatan Amfoang hanya dapat menikmati listrik selama 12 jam yang disuplai oleh PLTD Lelogama.4 Keterbatasan ini secara fundamental menghambat aktivitas ekonomi produktif, proses belajar mengajar pada malam hari, dan akses terhadap layanan kesehatan darurat.
Kedua, tingkat penetrasi di level rumah tangga. Pembangunan jaringan seringkali baru menjangkau pusat desa atau di sepanjang jalan utama. Ratusan rumah tangga yang berada di dusun-dusun terpencil atau wilayah perbukitan tetap hidup dalam kegelapan. Di Desa Noemeto, Kabupaten Timor Tengah Selatan, misalnya, meskipun tiang-tiang listrik telah terpasang, masih terdapat sekitar 30 kepala keluarga yang belum mampu tersambung karena faktor ekonomi.7
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan elektrifikasi yang hanya berfokus pada pencapaian target RDB 100% berisiko gagal mewujudkan keadilan energi. Diperlukan metrik tambahan yang lebih granular, seperti "Rasio Desa Berlistrik 24/7" dan "Tingkat Penetrasi Rumah Tangga di Desa 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)", untuk memastikan intervensi kebijakan menjadi lebih tepat sasaran dan berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
1.3 Hubungan Kausal: Elektrifikasi, Kemiskinan, dan Indeks Desa Membangun (IDM)
Terdapat korelasi kuat antara tingkat elektrifikasi dengan tingkat kemiskinan dan status pembangunan desa. Kabupaten-kabupaten dengan RE terendah, seperti Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Manggarai Timur, dan Sumba Barat Daya 12, juga merupakan wilayah dengan kantong-kantong kemiskinan yang signifikan. Kabupaten Sumba Timur, misalnya, menempati peringkat keempat dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di NTT.15
Hubungan ini terkonfirmasi melalui kerangka Indeks Desa Membangun (IDM) yang digunakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. IDM mengklasifikasikan desa ke dalam lima status: Sangat Tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju, dan Mandiri.16 Salah satu variabel kunci dalam kuesioner pemutakhiran data IDM adalah data mengenai "Template RT Belum Berlistrik".17 Hal ini menunjukkan bahwa akses listrik diakui secara formal sebagai salah satu determinan utama kemandirian desa.
Ketiadaan listrik menjadi penghambat fundamental yang menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Tanpa listrik, akses terhadap informasi menjadi terbatas 18, kualitas pendidikan menurun, layanan kesehatan tidak optimal, dan potensi ekonomi lokal (seperti pengolahan hasil pertanian atau kerajinan) tidak dapat berkembang. Dengan demikian, investasi pada elektrifikasi bukan sekadar penyediaan infrastruktur, melainkan sebuah intervensi pembangunan strategis yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan skor IDM dan pengentasan desa dari status tertinggal dan sangat tertinggal.19
Bab 2: Pemetaan Komprehensif Desa dan Dusun dengan Akses Listrik Terbatas di NTT
2.1 Metodologi dan Tantangan Kompilasi Data
Menyusun daftar definitif desa dan dusun yang belum teraliri listrik penuh di NTT merupakan sebuah tantangan, mengingat tidak ada basis data tunggal yang terpusat dan diperbarui secara real-time. Data bersifat sangat dinamis karena PLN terus melakukan pembangunan jaringan setiap tahunnya.20 Laporan ini menyajikan sebuah matriks analisis yang merupakan hasil sintesis dari berbagai sumber, termasuk rilis pers resmi PLN 20, laporan media yang bersifat investigatif 5, data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) 24, serta informasi dari pemerintah daerah.
Terdapat variasi data historis mengenai jumlah desa yang belum berlistrik, yang sekaligus menunjukkan progres dan skala tantangan yang masih tersisa. Pada tahun 2018, dilaporkan masih ada 1.203 desa yang perlu dilistriki.26 Angka ini menurun menjadi sekitar 352 desa pada tahun 2021 27 dan sekitar 300 desa pada awal 2022.28 Data RDB PLN per akhir 2023 menunjukkan dari total 3.442 desa/kelurahan di NTT, sebanyak 3.256 telah berlistrik, menyisakan 186 desa yang belum terjangkau jaringan PLN.12 Tabel berikut dirancang bukan sebagai daftar statis, melainkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan strategis yang mengintegrasikan status kelistrikan dengan potensi sumber daya dan kendala di lapangan.
2.2 Tabel Analisis Kebutuhan Elektrifikasi per Kabupaten
Tabel berikut menyajikan pemetaan desa dan dusun yang teridentifikasi memiliki akses listrik terbatas atau belum sama sekali, dilengkapi dengan analisis potensi EBT dan data pendukung lainnya.
Tabel 1: Matriks Analisis Desa/Dusun di Provinsi Nusa Tenggara Timur Belum Teraliri Listrik Penuh (24 Jam) per Analisis 2024
Kabupaten | Kecamatan | Nama Desa/Dusun/Kampung | Status Kelistrikan | Sumber Listrik Saat Ini | Potensi EBT Dominan (Geografis) | Catatan & Data Pendukung (Topografi, Akses, Status IDM, Sumber Info) |
Manggarai Timur | Lambaleda Utara | Kampung Sonot, Wae Ciu, Purang Kamba, Damer (di Desa Satar Padut) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Mikrohidro (Potensial) | Pedalaman, akses jalan tanah. Jarak >500 meter dari jaringan terdekat. 23 |
Lambaleda Utara | Desa Haju Wangi (8 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Mikrohidro (Potensial) | Topografi pegunungan, terisolir. Jarak >10 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Desa Lencur (7 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Sangat terisolir, akses sangat sulit. Jarak >25 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Desa Golo Wontong (3 Kampung) & Desa Golo Mangung (7 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Jarak 12-15 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Kampung Mbujo, Ledu, Konca (di Desa Liang Deruk) & Kampung Diwuk (di Desa Nampar Tabang) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Jarak 2-7 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Rana Mese | 6 Desa (nama spesifik tidak dirinci) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Panas Bumi (Potensial) | Kendala Utama: Jalur jaringan yang direncanakan melintasi kawasan hutan BKSDA. 6 | |
Lamba Leda | Desa Compang Necak, Golo Munga, Golo Munga Barat, Goreng Meni Utara, Golo Paleng | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Usulan pembangunan jaringan telah diajukan sejak 2019 namun belum terealisasi. 29 | |
Timor Tengah Selatan (TTS) | Amanuban Barat | Desa Haumenikabi | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Angin (Sedang) | Kendala Utama: Usulan perluasan jaringan terhambat izin melintasi kawasan hutan negara. 5 |
Kie | Desa Fatuulan | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Topografi pegunungan, akses sulit. Terhambat izin kehutanan. 5 | |
Fatumnasi | Desa Nenas, Desa Mutis | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Dataran tinggi dengan potensi agrowisata yang terhambat. Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Polen | Desa Laob | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Mollo Barat | Desa Oeuban, Desa Besana | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Santian | Desa Poli, Desa Naifatu | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Fatukopa | Desa Nunfutu | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Kota So'e | Desa Noemeto | Jaringan PLN Ada, RE Rendah | PLN | Surya (Tinggi) | Kendala Utama: Ekonomi rumah tangga. Sekitar 30 KK belum mampu membayar biaya sambungan baru. 7 | |
Boking | Desa Meusin | Baru Teraliri (Mei 2024) | PLN (Sebelumnya Gelap Gulita) | Surya (Tinggi) | Sebelumnya gelap gulita sejak kemerdekaan. Dilistriki PLN pada Mei 2024. 30 | |
Sumba Barat Daya | Kodi Balegar | Desa Waiyapu | Gelap Gulita | Sebagian kecil: PLTS swadaya | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Potensi ekonomi dari jambu mete kualitas ekspor terhambat. Usulan ke Pemda belum direspon. 22 |
(Tidak disebutkan) | Desa Kadu Eta | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Kondisi desa sangat tertinggal, aktivitas masyarakat masih sangat tradisional. 31 | |
Sabu Raijua | (Tidak disebutkan) | (Tidak disebutkan) | RE Terendah <90% | PLTD & Non-PLN | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Kabupaten dengan RE terendah di NTT per November 2023. Memerlukan intervensi khusus. 12 |
Bab 3: Analisis Tantangan Struktural dalam Upaya Elektrifikasi
3.1 Ketergantungan pada PLTD: Paradoks Solusi Jangka Pendek
Sistem kelistrikan di NTT, khususnya di wilayah terpencil dan kepulauan, sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Data menunjukkan bahwa 62 dari 85 total unit pembangkit milik PLN di provinsi ini adalah PLTD 32, yang mencerminkan strategi historis untuk menyediakan akses listrik secara cepat. Namun, pendekatan ini menciptakan sebuah paradoks.
PLTD memang mampu memberikan akses listrik dasar dalam waktu relatif singkat, tetapi solusi ini melahirkan ketergantungan jangka panjang pada bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif, membebani biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Secara nasional, PLN telah mengidentifikasi sekitar 2.200 lokasi yang masih menggunakan PLTD dan merencanakan program konversi ke EBT untuk menekan biaya dan impor solar.11 Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan peta jalan transisi energi dari Kementerian ESDM juga secara eksplisit menargetkan penghentian operasi PLTD secara bertahap dan melakukan konversi ke pembangkit EBT.1
Dengan demikian, melanjutkan pembangunan PLTD baru di desa-desa yang belum terlistriki di NTT merupakan kebijakan yang tidak berkelanjutan, baik secara ekonomi maupun ekologis. Setiap PLTD baru yang dibangun hari ini berpotensi menjadi "aset terdampar" (stranded asset) di masa depan, yang akan memerlukan biaya tambahan untuk dekomisioning dan konversi. Ini memperkuat argumen untuk mengubah paradigma dari "PLTD sebagai opsi utama" menjadi "EBT terdesentralisasi sebagai opsi utama" untuk semua lokasi baru yang belum terjangkau jaringan.
3.2 Hambatan Non-Teknis: Birokrasi Perizinan dan Faktor Ekonomi
Tantangan terbesar dalam upaya elektrifikasi di NTT seringkali bukan bersifat teknis atau geografis, melainkan birokratis dan sosial-ekonomi. Berbagai laporan dari kabupaten yang berbeda, seperti Manggarai Timur 6 dan Timor Tengah Selatan 5, secara konsisten menunjuk pada satu kendala utama yang sama: rencana pembangunan jaringan listrik terhambat karena harus melintasi kawasan hutan negara atau kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Hal ini mengindikasikan adanya kebuntuan koordinasi antar-lembaga (inter-agency deadlock). PLN mungkin memiliki anggaran dan kesiapan teknis untuk membangun, namun proyek tidak dapat berjalan tanpa adanya izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proses perizinan yang lambat dan kompleks ini secara efektif menunda akses listrik bagi puluhan desa selama bertahun-tahun. Kebuntuan ini secara tidak langsung memperkuat argumen bahwa solusi off-grid (di luar jaringan), seperti PLTS Komunal atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), menjadi alternatif yang lebih realistis untuk wilayah-wilayah tersebut karena tidak memerlukan pembangunan transmisi jarak jauh yang melintasi kawasan hutan.
Di sisi lain, bahkan ketika infrastruktur jaringan berhasil dibangun, tantangan terakhir muncul di tingkat rumah tangga. Faktor ekonomi menjadi penghalang utama bagi keluarga miskin untuk dapat membayar biaya penyambungan baru. Kasus di Desa Noemeto, TTS, di mana puluhan keluarga belum menikmati listrik meskipun tiang sudah berdiri di depan rumah mereka 7, adalah bukti nyata bahwa penyediaan infrastruktur saja tidak cukup untuk mencapai target Rasio Elektrifikasi 100%.
Bab 4: Potensi Energi Terbarukan sebagai Solusi Leapfrog untuk NTT
4.1 Pemetaan Potensi EBT Skala Gigawatt
NTT memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, sebuah anugerah yang kontras dengan kondisi krisis listriknya. Data dari Kementerian ESDM dan berbagai kajian menunjukkan potensi yang sangat besar, mencakup:
- Energi Surya: Potensi teknis mencapai 7,27 Gigawatt (GW).8 Dengan intensitas radiasi matahari rata-rata yang tinggi sepanjang tahun, sekitar 5 kWh/m²/hari, energi surya menjadi sumber daya paling merata dan mudah diakses di seluruh provinsi.33
- Energi Angin (Bayu): Potensi mencapai 10,188 GW, salah satu yang terbesar di Indonesia, terutama terkonsentrasi di Pulau Sumba, Timor, dan Sabu.8
- Energi Panas Bumi (Geothermal): Potensi sebesar 1,223 GW yang tersebar di 24 lokasi, mayoritas di Pulau Flores, Lembata, dan Alor.8
- Energi Air (Hidro): Potensi tenaga air skala besar mencapai 624 MW, sementara potensi untuk skala mikrohidro (PLTMH) yang cocok untuk desa-desa pegunungan adalah sekitar 95 MW.8
Pemerintah telah menetapkan Pulau Sumba sebagai Iconic Island atau pulau percontohan untuk pengembangan 100% EBT.33 Program ini, jika berhasil, dapat menjadi cetak biru yang direplikasi untuk pulau-pulau lain di NTT, mengubah tantangan geografis kepulauan menjadi kekuatan untuk kemandirian energi bersih.
4.2 Model Implementasi EBT Terdesentralisasi
Potensi EBT yang masif ini membuka peluang bagi desa-desa terpencil untuk melakukan "lompatan" (leapfrog), yaitu mengadopsi teknologi energi bersih modern tanpa harus melalui fase ketergantungan pada jaringan listrik terpusat berbasis fosil. Beberapa model implementasi yang paling relevan untuk NTT adalah:
- PLTS Komunal dan Atap: Ini adalah solusi paling fleksibel dan cepat untuk melistriki dusun-dusun terpencil, pulau-pulau kecil, dan permukiman yang terpencar. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal dapat dibangun untuk melayani satu dusun, sementara PLTS atap dapat dipasang di fasilitas umum (sekolah, puskesmas) dan rumah-rumah warga.
- PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro): Untuk desa-desa yang berlokasi di daerah pegunungan dengan aliran sungai yang stabil, seperti di sebagian wilayah Manggarai, Ngada, dan Timor, PLTMH menawarkan sumber listrik 24 jam yang andal dan berbiaya operasional rendah. Potensi sebesar 95 MW 8 dapat dipetakan secara spesifik untuk lokasi-lokasi yang membutuhkan di dalam Tabel 1.
- Sistem Hibrida (PLTS-PLTD/Baterai): Sebagai langkah transisi, PLTS dapat diintegrasikan dengan PLTD yang sudah ada. Pada siang hari, listrik dipasok oleh PLTS, mengurangi konsumsi solar secara drastis. Energi berlebih dapat disimpan dalam baterai untuk digunakan pada malam hari, sehingga memperpanjang jam layanan dari 12 jam menjadi 24 jam dan secara bertahap mengurangi peran PLTD hingga akhirnya dapat dipensiunkan.
Bab 5: Rekomendasi Strategis untuk Akselerasi dan Pemerataan Elektrifikasi
5.1 Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi
- Reformasi Metrik Keberhasilan: Mendorong Bappenas, Kementerian ESDM, dan BPS untuk mengadopsi metrik pelengkap selain RE dan RDB. Indikator baru seperti "Rasio Desa Berlistrik Andal 24/7" dan "Indeks Kualitas Pasokan Listrik Pedesaan (IKPLP)" harus dikembangkan dan digunakan dalam dokumen perencanaan nasional untuk memberikan gambaran yang lebih akurat dan mendorong intervensi yang berfokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas.
- Terobosan Perizinan Lintas Sektor: Membentuk Gugus Tugas (Task Force) Percepatan Elektrifikasi 3T di tingkat nasional. Gugus tugas ini harus beranggotakan perwakilan tingkat tinggi dari Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah. Tujuannya adalah untuk menciptakan koridor khusus dan prosedur jalur cepat (fast-track) untuk perizinan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang melintasi kawasan hutan, dengan tetap menerapkan prinsip mitigasi dampak lingkungan yang ketat.
- Integrasi Dana Desa untuk Akses Energi: Mendorong revisi atau penambahan petunjuk teknis penggunaan Dana Desa agar dapat dialokasikan secara lebih fleksibel untuk mendukung elektrifikasi. Penggunaan yang dimungkinkan mencakup skema iuran kolektif untuk biaya penyambungan listrik bagi keluarga tidak mampu, serta untuk mendanai biaya operasional dan pemeliharaan awal pembangkit EBT komunal yang dikelola oleh BUMDes. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa status IDM, yang dipengaruhi oleh akses listrik, menjadi salah satu dasar alokasi Dana Desa.16
5.2 Rekomendasi Investasi dan Pendanaan
- Prioritaskan PMN untuk Solusi Berkelanjutan: Mengarahkan alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk sektor kelistrikan, seperti yang diterima PLN sebesar Rp 258 miliar untuk 97 desa di NTT 34, agar diprioritaskan untuk proyek EBT terdesentralisasi (PLTS Komunal, PLTMH). Kebijakan ini penting untuk menghindari "Paradoks PLTD" dan memastikan investasi negara menghasilkan aset yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan.
- Kembangkan Skema Blended Finance: Merancang skema pendanaan campuran yang menggabungkan dana APBN/PMN, dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR) BUMN dan swasta, dana filantropi, serta investasi komersial untuk proyek-proyek microgrid EBT. Model ini dapat mempercepat pembangunan tanpa membebani keuangan negara sepenuhnya.
- Program Subsidi Biaya Penyambungan: Membuat program nasional atau provinsi yang memberikan subsidi atau skema cicilan sangat ringan untuk biaya penyambungan baru bagi rumah tangga miskin yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Program ini secara spesifik menargetkan hambatan ekonomi terakhir yang menghalangi tercapainya RE 100% di desa-desa yang jaringannya sudah tersedia.7
5.3 Rekomendasi Teknologi dan Implementasi
- Standarisasi dan Replikasi Microgrid: Mengembangkan paket-paket teknologi microgrid EBT yang terstandarisasi (misalnya, paket PLTS Komunal 25 kWp, 50 kWp, 100 kWp lengkap dengan sistem baterai dan distribusi). Standarisasi ini akan memangkas waktu dan biaya perencanaan per proyek, memungkinkan implementasi yang lebih cepat dan masif seperti program "pabrikasi".
- Adopsi Strategi Leapfrog secara Resmi: Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan PLN, harus secara resmi mengadopsi strategi "lompatan teknologi" untuk semua desa yang belum berlistrik di NTT dan wilayah 3T lainnya. Dalam strategi ini, solusi EBT terdesentralisasi menjadi opsi pertama (default option), dan perluasan jaringan menjadi opsi kedua yang dipertimbangkan hanya jika terbukti lebih layak secara teknis dan ekonomis.
- Pemberdayaan Ekonomi dan Keberlanjutan Lokal: Mewajibkan setiap proyek EBT pedesaan untuk menyertakan komponen program yang kuat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini mencakup pelatihan bagi pemuda-pemudi lokal untuk menjadi operator dan teknisi, serta pembentukan atau penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Koperasi untuk mengelola operasional, pemeliharaan, dan penagihan. Pendekatan ini memastikan keberlanjutan jangka panjang proyek dan menciptakan lapangan kerja baru di tingkat desa.
Akselerasi Elektrifikasi dan Transisi Energi Berkeadilan
di Wilayah Pedesaan Provinsi Nusa Tenggara Timur | EcoJustice.online
Akselerasi Elektrifikasi dan Transisi Energi Berkeadilan di Wilayah Pedesaan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Ringkasan Eksekutif
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara konsisten menghadapi tantangan signifikan dalam sektor kelistrikan, tercermin dari Rasio Elektrifikasi (RE) dan Rasio Desa Berlistrik (RDB) yang termasuk terendah di Indonesia.1 Laporan ini mengidentifikasi adanya "kesenjangan ganda" (dual gap) yang melampaui metrik konvensional: pertama, keberadaan desa dan dusun yang sama sekali belum tersentuh aliran listrik (gelap gulita); dan kedua, desa yang terlayani listrik secara terbatas, umumnya di bawah 12 jam per hari, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan.4
Skala tantangan diperparah oleh kondisi geografis yang ekstrem, mencakup ribuan pulau, topografi pegunungan terjal, dan sebaran permukiman yang terpencar. Hambatan ini diperumit oleh kendala administratif, terutama proses perizinan yang kompleks untuk pembangunan jaringan yang melintasi kawasan konservasi dan hutan negara 5, serta keterbatasan ekonomi rumah tangga untuk menyambung daya meskipun jaringan telah tersedia.7
Namun, di tengah krisis ini, terdapat peluang strategis yang luar biasa. NTT memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) dalam skala gigawatt, khususnya energi surya, angin, dan panas bumi, yang merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.8 Paradoks ini menempatkan desa-desa yang belum terlistriki pada posisi unik untuk melakukan "lompatan" (leapfrog), melewati fase ketergantungan pada energi fosil dan langsung mengadopsi solusi energi bersih terdesentralisasi yang andal (24/7). Strategi ini selaras dengan agenda transisi energi nasional, termasuk komitmen dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target de-dieselisasi pemerintah.10
Laporan ini merekomendasikan serangkaian intervensi strategis yang berfokus pada: (1) Reformasi kebijakan untuk mengatasi metrik keberhasilan yang kurang akurat dan menyederhanakan hambatan birokrasi perizinan; (2) Pengembangan model investasi inovatif yang memprioritaskan proyek EBT skala kecil dan menengah; serta (3) Adopsi teknologi microgrid (jaringan listrik skala kecil) terdesentralisasi sebagai tulang punggung akselerasi elektrifikasi yang berkeadilan dan berkelanjutan di NTT.
Bab 1: Lanskap Elektrifikasi Nusa Tenggara Timur: Kesenjangan Struktural dan Konteks Pembangunan
1.1 Metrik Kesenjangan: Analisis Rasio Elektrifikasi (RE) dan Rasio Desa Berlistrik (RDB)
Analisis kuantitatif menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya elektrifikasi di NTT, namun provinsi ini masih tertinggal jauh dari rata-rata nasional. Data PT PLN (Persero) per Desember 2023 mencatat Rasio Desa Berlistrik (RDB) mencapai 94,60% dan Rasio Elektrifikasi (RE) total sebesar 94,89%.12 Proyeksi untuk tahun 2024 menunjukkan peningkatan lebih lanjut, dengan target RDB 96,51% dan RE 96,35%.13
Meskipun angka ini menunjukkan tren positif yang signifikan jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2018 di mana RE baru mencapai 62,88% 12, laju peningkatannya belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dari wilayah lain. Sebagai perbandingan, RE nasional per Desember 2024 telah mencapai 99,83%.14 Fakta bahwa NTT pada akhir tahun 2022 masih tercatat sebagai provinsi dengan RE terendah di Indonesia (92,70%) menegaskan adanya permasalahan yang bersifat struktural dan mendalam.2 Kesenjangan ini menuntut adanya pendekatan yang lebih agresif dan inovatif untuk mencapai target elektrifikasi 100%.
1.2 Mengurai "Kesenjangan Ganda" (The Dual Gap)
Metrik RDB, yang sering digunakan sebagai indikator utama keberhasilan, dapat memberikan gambaran yang kurang akurat mengenai kondisi riil di lapangan. Sebuah desa yang secara administratif diklasifikasikan sebagai "berlistrik" belum tentu seluruh warganya menikmati akses energi yang memadai. Terdapat dua masalah mendasar yang tersembunyi di balik angka RDB.
Pertama, kualitas dan durasi layanan. Banyak desa di daerah terpencil, terutama di pulau-pulau kecil, dilayani oleh PLTD yang hanya beroperasi selama 6 hingga 12 jam per hari.4 Contohnya, sebelum adanya interkoneksi sistem, masyarakat di Kecamatan Amfoang hanya dapat menikmati listrik selama 12 jam yang disuplai oleh PLTD Lelogama.4 Keterbatasan ini secara fundamental menghambat aktivitas ekonomi produktif, proses belajar mengajar pada malam hari, dan akses terhadap layanan kesehatan darurat.
Kedua, tingkat penetrasi di level rumah tangga. Pembangunan jaringan seringkali baru menjangkau pusat desa atau di sepanjang jalan utama. Ratusan rumah tangga yang berada di dusun-dusun terpencil atau wilayah perbukitan tetap hidup dalam kegelapan. Di Desa Noemeto, Kabupaten Timor Tengah Selatan, misalnya, meskipun tiang-tiang listrik telah terpasang, masih terdapat sekitar 30 kepala keluarga yang belum mampu tersambung karena faktor ekonomi.7
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan elektrifikasi yang hanya berfokus pada pencapaian target RDB 100% berisiko gagal mewujudkan keadilan energi. Diperlukan metrik tambahan yang lebih granular, seperti "Rasio Desa Berlistrik 24/7" dan "Tingkat Penetrasi Rumah Tangga di Desa 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)", untuk memastikan intervensi kebijakan menjadi lebih tepat sasaran dan berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
1.3 Hubungan Kausal: Elektrifikasi, Kemiskinan, dan Indeks Desa Membangun (IDM)
Terdapat korelasi kuat antara tingkat elektrifikasi dengan tingkat kemiskinan dan status pembangunan desa. Kabupaten-kabupaten dengan RE terendah, seperti Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Manggarai Timur, dan Sumba Barat Daya 12, juga merupakan wilayah dengan kantong-kantong kemiskinan yang signifikan. Kabupaten Sumba Timur, misalnya, menempati peringkat keempat dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di NTT.15
Hubungan ini terkonfirmasi melalui kerangka Indeks Desa Membangun (IDM) yang digunakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. IDM mengklasifikasikan desa ke dalam lima status: Sangat Tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju, dan Mandiri.16 Salah satu variabel kunci dalam kuesioner pemutakhiran data IDM adalah data mengenai "Template RT Belum Berlistrik".17 Hal ini menunjukkan bahwa akses listrik diakui secara formal sebagai salah satu determinan utama kemandirian desa.
Ketiadaan listrik menjadi penghambat fundamental yang menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Tanpa listrik, akses terhadap informasi menjadi terbatas 18, kualitas pendidikan menurun, layanan kesehatan tidak optimal, dan potensi ekonomi lokal (seperti pengolahan hasil pertanian atau kerajinan) tidak dapat berkembang. Dengan demikian, investasi pada elektrifikasi bukan sekadar penyediaan infrastruktur, melainkan sebuah intervensi pembangunan strategis yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan skor IDM dan pengentasan desa dari status tertinggal dan sangat tertinggal.19
Bab 2: Pemetaan Komprehensif Desa dan Dusun dengan Akses Listrik Terbatas di NTT
2.1 Metodologi dan Tantangan Kompilasi Data
Menyusun daftar definitif desa dan dusun yang belum teraliri listrik penuh di NTT merupakan sebuah tantangan, mengingat tidak ada basis data tunggal yang terpusat dan diperbarui secara real-time. Data bersifat sangat dinamis karena PLN terus melakukan pembangunan jaringan setiap tahunnya.20 Laporan ini menyajikan sebuah matriks analisis yang merupakan hasil sintesis dari berbagai sumber, termasuk rilis pers resmi PLN 20, laporan media yang bersifat investigatif 5, data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) 24, serta informasi dari pemerintah daerah.
Terdapat variasi data historis mengenai jumlah desa yang belum berlistrik, yang sekaligus menunjukkan progres dan skala tantangan yang masih tersisa. Pada tahun 2018, dilaporkan masih ada 1.203 desa yang perlu dilistriki.26 Angka ini menurun menjadi sekitar 352 desa pada tahun 2021 27 dan sekitar 300 desa pada awal 2022.28 Data RDB PLN per akhir 2023 menunjukkan dari total 3.442 desa/kelurahan di NTT, sebanyak 3.256 telah berlistrik, menyisakan 186 desa yang belum terjangkau jaringan PLN.12 Tabel berikut dirancang bukan sebagai daftar statis, melainkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan strategis yang mengintegrasikan status kelistrikan dengan potensi sumber daya dan kendala di lapangan.
2.2 Tabel Analisis Kebutuhan Elektrifikasi per Kabupaten
Tabel berikut menyajikan pemetaan desa dan dusun yang teridentifikasi memiliki akses listrik terbatas atau belum sama sekali, dilengkapi dengan analisis potensi EBT dan data pendukung lainnya.
Tabel 1: Matriks Analisis Desa/Dusun di Provinsi Nusa Tenggara Timur Belum Teraliri Listrik Penuh (24 Jam) per Analisis 2024
Kabupaten | Kecamatan | Nama Desa/Dusun/Kampung | Status Kelistrikan | Sumber Listrik Saat Ini | Potensi EBT Dominan (Geografis) | Catatan & Data Pendukung (Topografi, Akses, Status IDM, Sumber Info) |
Manggarai Timur | Lambaleda Utara | Kampung Sonot, Wae Ciu, Purang Kamba, Damer (di Desa Satar Padut) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Mikrohidro (Potensial) | Pedalaman, akses jalan tanah. Jarak >500 meter dari jaringan terdekat. 23 |
Lambaleda Utara | Desa Haju Wangi (8 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Mikrohidro (Potensial) | Topografi pegunungan, terisolir. Jarak >10 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Desa Lencur (7 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Sangat terisolir, akses sangat sulit. Jarak >25 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Desa Golo Wontong (3 Kampung) & Desa Golo Mangung (7 Kampung) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Jarak 12-15 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Lambaleda Utara | Kampung Mbujo, Ledu, Konca (di Desa Liang Deruk) & Kampung Diwuk (di Desa Nampar Tabang) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Jarak 2-7 km dari jaringan terdekat. 23 | |
Rana Mese | 6 Desa (nama spesifik tidak dirinci) | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Panas Bumi (Potensial) | Kendala Utama: Jalur jaringan yang direncanakan melintasi kawasan hutan BKSDA. 6 | |
Lamba Leda | Desa Compang Necak, Golo Munga, Golo Munga Barat, Goreng Meni Utara, Golo Paleng | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Usulan pembangunan jaringan telah diajukan sejak 2019 namun belum terealisasi. 29 | |
Timor Tengah Selatan (TTS) | Amanuban Barat | Desa Haumenikabi | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi), Angin (Sedang) | Kendala Utama: Usulan perluasan jaringan terhambat izin melintasi kawasan hutan negara. 5 |
Kie | Desa Fatuulan | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Topografi pegunungan, akses sulit. Terhambat izin kehutanan. 5 | |
Fatumnasi | Desa Nenas, Desa Mutis | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Dataran tinggi dengan potensi agrowisata yang terhambat. Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Polen | Desa Laob | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Mollo Barat | Desa Oeuban, Desa Besana | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Santian | Desa Poli, Desa Naifatu | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Fatukopa | Desa Nunfutu | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Tinggi) | Terkendala izin kehutanan. 5 | |
Kota So'e | Desa Noemeto | Jaringan PLN Ada, RE Rendah | PLN | Surya (Tinggi) | Kendala Utama: Ekonomi rumah tangga. Sekitar 30 KK belum mampu membayar biaya sambungan baru. 7 | |
Boking | Desa Meusin | Baru Teraliri (Mei 2024) | PLN (Sebelumnya Gelap Gulita) | Surya (Tinggi) | Sebelumnya gelap gulita sejak kemerdekaan. Dilistriki PLN pada Mei 2024. 30 | |
Sumba Barat Daya | Kodi Balegar | Desa Waiyapu | Gelap Gulita | Sebagian kecil: PLTS swadaya | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Potensi ekonomi dari jambu mete kualitas ekspor terhambat. Usulan ke Pemda belum direspon. 22 |
(Tidak disebutkan) | Desa Kadu Eta | Gelap Gulita | Tidak Ada | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Kondisi desa sangat tertinggal, aktivitas masyarakat masih sangat tradisional. 31 | |
Sabu Raijua | (Tidak disebutkan) | (Tidak disebutkan) | RE Terendah <90% | PLTD & Non-PLN | Surya (Sangat Tinggi), Angin (Tinggi) | Kabupaten dengan RE terendah di NTT per November 2023. Memerlukan intervensi khusus. 12 |
Bab 3: Analisis Tantangan Struktural dalam Upaya Elektrifikasi
3.1 Ketergantungan pada PLTD: Paradoks Solusi Jangka Pendek
Sistem kelistrikan di NTT, khususnya di wilayah terpencil dan kepulauan, sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Data menunjukkan bahwa 62 dari 85 total unit pembangkit milik PLN di provinsi ini adalah PLTD 32, yang mencerminkan strategi historis untuk menyediakan akses listrik secara cepat. Namun, pendekatan ini menciptakan sebuah paradoks.
PLTD memang mampu memberikan akses listrik dasar dalam waktu relatif singkat, tetapi solusi ini melahirkan ketergantungan jangka panjang pada bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif, membebani biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Secara nasional, PLN telah mengidentifikasi sekitar 2.200 lokasi yang masih menggunakan PLTD dan merencanakan program konversi ke EBT untuk menekan biaya dan impor solar.11 Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan peta jalan transisi energi dari Kementerian ESDM juga secara eksplisit menargetkan penghentian operasi PLTD secara bertahap dan melakukan konversi ke pembangkit EBT.1
Dengan demikian, melanjutkan pembangunan PLTD baru di desa-desa yang belum terlistriki di NTT merupakan kebijakan yang tidak berkelanjutan, baik secara ekonomi maupun ekologis. Setiap PLTD baru yang dibangun hari ini berpotensi menjadi "aset terdampar" (stranded asset) di masa depan, yang akan memerlukan biaya tambahan untuk dekomisioning dan konversi. Ini memperkuat argumen untuk mengubah paradigma dari "PLTD sebagai opsi utama" menjadi "EBT terdesentralisasi sebagai opsi utama" untuk semua lokasi baru yang belum terjangkau jaringan.
3.2 Hambatan Non-Teknis: Birokrasi Perizinan dan Faktor Ekonomi
Tantangan terbesar dalam upaya elektrifikasi di NTT seringkali bukan bersifat teknis atau geografis, melainkan birokratis dan sosial-ekonomi. Berbagai laporan dari kabupaten yang berbeda, seperti Manggarai Timur 6 dan Timor Tengah Selatan 5, secara konsisten menunjuk pada satu kendala utama yang sama: rencana pembangunan jaringan listrik terhambat karena harus melintasi kawasan hutan negara atau kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Hal ini mengindikasikan adanya kebuntuan koordinasi antar-lembaga (inter-agency deadlock). PLN mungkin memiliki anggaran dan kesiapan teknis untuk membangun, namun proyek tidak dapat berjalan tanpa adanya izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Proses perizinan yang lambat dan kompleks ini secara efektif menunda akses listrik bagi puluhan desa selama bertahun-tahun. Kebuntuan ini secara tidak langsung memperkuat argumen bahwa solusi off-grid (di luar jaringan), seperti PLTS Komunal atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), menjadi alternatif yang lebih realistis untuk wilayah-wilayah tersebut karena tidak memerlukan pembangunan transmisi jarak jauh yang melintasi kawasan hutan.
Di sisi lain, bahkan ketika infrastruktur jaringan berhasil dibangun, tantangan terakhir muncul di tingkat rumah tangga. Faktor ekonomi menjadi penghalang utama bagi keluarga miskin untuk dapat membayar biaya penyambungan baru. Kasus di Desa Noemeto, TTS, di mana puluhan keluarga belum menikmati listrik meskipun tiang sudah berdiri di depan rumah mereka 7, adalah bukti nyata bahwa penyediaan infrastruktur saja tidak cukup untuk mencapai target Rasio Elektrifikasi 100%.
Bab 4: Potensi Energi Terbarukan sebagai Solusi Leapfrog untuk NTT
4.1 Pemetaan Potensi EBT Skala Gigawatt
NTT memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, sebuah anugerah yang kontras dengan kondisi krisis listriknya. Data dari Kementerian ESDM dan berbagai kajian menunjukkan potensi yang sangat besar, mencakup:
- Energi Surya: Potensi teknis mencapai 7,27 Gigawatt (GW).8 Dengan intensitas radiasi matahari rata-rata yang tinggi sepanjang tahun, sekitar 5 kWh/m²/hari, energi surya menjadi sumber daya paling merata dan mudah diakses di seluruh provinsi.33
- Energi Angin (Bayu): Potensi mencapai 10,188 GW, salah satu yang terbesar di Indonesia, terutama terkonsentrasi di Pulau Sumba, Timor, dan Sabu.8
- Energi Panas Bumi (Geothermal): Potensi sebesar 1,223 GW yang tersebar di 24 lokasi, mayoritas di Pulau Flores, Lembata, dan Alor.8
- Energi Air (Hidro): Potensi tenaga air skala besar mencapai 624 MW, sementara potensi untuk skala mikrohidro (PLTMH) yang cocok untuk desa-desa pegunungan adalah sekitar 95 MW.8
Pemerintah telah menetapkan Pulau Sumba sebagai Iconic Island atau pulau percontohan untuk pengembangan 100% EBT.33 Program ini, jika berhasil, dapat menjadi cetak biru yang direplikasi untuk pulau-pulau lain di NTT, mengubah tantangan geografis kepulauan menjadi kekuatan untuk kemandirian energi bersih.
4.2 Model Implementasi EBT Terdesentralisasi
Potensi EBT yang masif ini membuka peluang bagi desa-desa terpencil untuk melakukan "lompatan" (leapfrog), yaitu mengadopsi teknologi energi bersih modern tanpa harus melalui fase ketergantungan pada jaringan listrik terpusat berbasis fosil. Beberapa model implementasi yang paling relevan untuk NTT adalah:
- PLTS Komunal dan Atap: Ini adalah solusi paling fleksibel dan cepat untuk melistriki dusun-dusun terpencil, pulau-pulau kecil, dan permukiman yang terpencar. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal dapat dibangun untuk melayani satu dusun, sementara PLTS atap dapat dipasang di fasilitas umum (sekolah, puskesmas) dan rumah-rumah warga.
- PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro): Untuk desa-desa yang berlokasi di daerah pegunungan dengan aliran sungai yang stabil, seperti di sebagian wilayah Manggarai, Ngada, dan Timor, PLTMH menawarkan sumber listrik 24 jam yang andal dan berbiaya operasional rendah. Potensi sebesar 95 MW 8 dapat dipetakan secara spesifik untuk lokasi-lokasi yang membutuhkan di dalam Tabel 1.
- Sistem Hibrida (PLTS-PLTD/Baterai): Sebagai langkah transisi, PLTS dapat diintegrasikan dengan PLTD yang sudah ada. Pada siang hari, listrik dipasok oleh PLTS, mengurangi konsumsi solar secara drastis. Energi berlebih dapat disimpan dalam baterai untuk digunakan pada malam hari, sehingga memperpanjang jam layanan dari 12 jam menjadi 24 jam dan secara bertahap mengurangi peran PLTD hingga akhirnya dapat dipensiunkan.
Bab 5: Rekomendasi Strategis untuk Akselerasi dan Pemerataan Elektrifikasi
5.1 Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi
- Reformasi Metrik Keberhasilan: Mendorong Bappenas, Kementerian ESDM, dan BPS untuk mengadopsi metrik pelengkap selain RE dan RDB. Indikator baru seperti "Rasio Desa Berlistrik Andal 24/7" dan "Indeks Kualitas Pasokan Listrik Pedesaan (IKPLP)" harus dikembangkan dan digunakan dalam dokumen perencanaan nasional untuk memberikan gambaran yang lebih akurat dan mendorong intervensi yang berfokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas.
- Terobosan Perizinan Lintas Sektor: Membentuk Gugus Tugas (Task Force) Percepatan Elektrifikasi 3T di tingkat nasional. Gugus tugas ini harus beranggotakan perwakilan tingkat tinggi dari Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah. Tujuannya adalah untuk menciptakan koridor khusus dan prosedur jalur cepat (fast-track) untuk perizinan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang melintasi kawasan hutan, dengan tetap menerapkan prinsip mitigasi dampak lingkungan yang ketat.
- Integrasi Dana Desa untuk Akses Energi: Mendorong revisi atau penambahan petunjuk teknis penggunaan Dana Desa agar dapat dialokasikan secara lebih fleksibel untuk mendukung elektrifikasi. Penggunaan yang dimungkinkan mencakup skema iuran kolektif untuk biaya penyambungan listrik bagi keluarga tidak mampu, serta untuk mendanai biaya operasional dan pemeliharaan awal pembangkit EBT komunal yang dikelola oleh BUMDes. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa status IDM, yang dipengaruhi oleh akses listrik, menjadi salah satu dasar alokasi Dana Desa.16
5.2 Rekomendasi Investasi dan Pendanaan
- Prioritaskan PMN untuk Solusi Berkelanjutan: Mengarahkan alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk sektor kelistrikan, seperti yang diterima PLN sebesar Rp 258 miliar untuk 97 desa di NTT 34, agar diprioritaskan untuk proyek EBT terdesentralisasi (PLTS Komunal, PLTMH). Kebijakan ini penting untuk menghindari "Paradoks PLTD" dan memastikan investasi negara menghasilkan aset yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan.
- Kembangkan Skema Blended Finance: Merancang skema pendanaan campuran yang menggabungkan dana APBN/PMN, dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR) BUMN dan swasta, dana filantropi, serta investasi komersial untuk proyek-proyek microgrid EBT. Model ini dapat mempercepat pembangunan tanpa membebani keuangan negara sepenuhnya.
- Program Subsidi Biaya Penyambungan: Membuat program nasional atau provinsi yang memberikan subsidi atau skema cicilan sangat ringan untuk biaya penyambungan baru bagi rumah tangga miskin yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Program ini secara spesifik menargetkan hambatan ekonomi terakhir yang menghalangi tercapainya RE 100% di desa-desa yang jaringannya sudah tersedia.7
5.3 Rekomendasi Teknologi dan Implementasi
- Standarisasi dan Replikasi Microgrid: Mengembangkan paket-paket teknologi microgrid EBT yang terstandarisasi (misalnya, paket PLTS Komunal 25 kWp, 50 kWp, 100 kWp lengkap dengan sistem baterai dan distribusi). Standarisasi ini akan memangkas waktu dan biaya perencanaan per proyek, memungkinkan implementasi yang lebih cepat dan masif seperti program "pabrikasi".
- Adopsi Strategi Leapfrog secara Resmi: Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan PLN, harus secara resmi mengadopsi strategi "lompatan teknologi" untuk semua desa yang belum berlistrik di NTT dan wilayah 3T lainnya. Dalam strategi ini, solusi EBT terdesentralisasi menjadi opsi pertama (default option), dan perluasan jaringan menjadi opsi kedua yang dipertimbangkan hanya jika terbukti lebih layak secara teknis dan ekonomis.
- Pemberdayaan Ekonomi dan Keberlanjutan Lokal: Mewajibkan setiap proyek EBT pedesaan untuk menyertakan komponen program yang kuat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini mencakup pelatihan bagi pemuda-pemudi lokal untuk menjadi operator dan teknisi, serta pembentukan atau penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Koperasi untuk mengelola operasional, pemeliharaan, dan penagihan. Pendekatan ini memastikan keberlanjutan jangka panjang proyek dan menciptakan lapangan kerja baru di tingkat desa.
Akselerasi Elektrifikasi dan Transisi Energi Berkeadilan
di Wilayah Pedesaan Provinsi Nusa Tenggara Timur | EcoJustice.online