Akses Elektrifikasi dan Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Pedesaan Provinsi Banten

Unduh versi PDF  Dasbor Interaktif   Unduh Daftar Pustaka


Laporan Analisis Komprehensif: Akses Elektrifikasi dan Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Pedesaan Provinsi Banten


Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai kondisi elektrifikasi di Provinsi Banten, dengan fokus pada identifikasi desa dan dusun yang belum teraliri listrik atau hanya menerima layanan listrik di bawah 12 jam per hari. Meskipun data statistik resmi menunjukkan Rasio Elektrifikasi (RE) Provinsi Banten telah mencapai angka yang sangat tinggi, mendekati 100% 1, temuan laporan ini mengungkap adanya disparitas yang signifikan dan "kemiskinan energi" yang tersembunyi, terutama di wilayah selatan provinsi, yakni Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang.

Analisis menunjukkan bahwa metrik RE resmi cenderung menyamarkan masalah kualitas, keandalan, dan keamanan pasokan listrik. Banyak rumah tangga di daerah pedesaan, meskipun secara teknis terhitung "berlistrik", namun pada kenyataannya mengalami pemadaman yang sering, durasi nyala yang terbatas, atau bergantung pada sambungan informal yang tidak aman dan ilegal.2 Masalah ini diperparah oleh faktor geografis yang menantang, kerentanan terhadap bencana alam yang sering merusak infrastruktur, serta kesenjangan pembangunan struktural antara wilayah utara yang maju dan selatan yang tertinggal.

Ketiadaan akses listrik yang andal terbukti berkorelasi langsung dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kualitas pendidikan, dan terbatasnya peluang ekonomi di luar sektor pertanian. Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan dan keterisolasian yang sulit diputus jika hanya mengandalkan model perluasan jaringan listrik konvensional (grid extension).

Sebagai solusi, laporan ini mengidentifikasi potensi sumber daya energi terbarukan lokal yang melimpah di Banten Selatan. Data menunjukkan potensi iradiasi matahari yang sangat layak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan nilai Global Horizontal Irradiation (GHI) mencapai 1752.4 kWh/m² per tahun 4, serta potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dari berbagai aliran sungai dengan kapasitas terukur.5

Rekomendasi utama dari laporan ini adalah pergeseran paradigma dari pendekatan terpusat ke solusi energi terdesentralisasi yang tangguh dan berkelanjutan. Model yang diusulkan berpusat pada pengembangan PLTS Komunal dan PLTMH skala dusun yang dikelola secara profesional oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Implementasinya didukung oleh skema pembiayaan kolaboratif yang mengintegrasikan Dana Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan potensi Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Corporate Social Responsibility (CSR). Keberhasilan model ini bergantung pada penguatan kapasitas pemerintah desa dan BUMDes melalui pendampingan teknis intensif, serta pembentukan model operasi dan pemeliharaan (O&M) yang mandiri sejak awal proyek untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang.

Bab 1: Status Elektrifikasi Provinsi Banten: Gambaran Umum dan Disparitas Regional

Bab ini bertujuan untuk menyajikan data statistik resmi mengenai tingkat elektrifikasi di Provinsi Banten. Lebih dari sekadar memaparkan angka, analisis ini secara tajam menyoroti adanya kesenjangan fundamental dalam akses dan kualitas listrik antara wilayah utara yang terindustrialisasi dan wilayah selatan yang agraris dan cenderung terpencil. Pemahaman mendalam terhadap disparitas ini menjadi landasan untuk seluruh analisis dan rekomendasi yang disajikan dalam laporan ini.

Konteks Elektrifikasi Nasional dan Provinsi

Secara nasional, program elektrifikasi telah menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menargetkan pencapaian rasio elektrifikasi 100% pada tahun 2024.6 Laporan pada akhir tahun 2024 menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 99,83%, sebuah pencapaian yang mengindikasikan bahwa hampir seluruh rumah tangga di Indonesia telah tersentuh oleh listrik.7

Sejalan dengan tren nasional, Provinsi Banten juga mencatatkan angka rasio elektrifikasi yang tinggi. Data historis dari Kementerian ESDM pada Juni 2017 menunjukkan Banten telah mencapai rasio 99,47%.8 Angka ini terus meningkat, di mana data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2024 menunjukkan bahwa 99,79% rumah tangga di Banten telah menggunakan listrik sebagai sumber penerangan utama, dengan 99,75% berasal dari PLN dan 0,04% dari sumber non-PLN.1 Peningkatan konsumsi listrik di provinsi ini, yang mencapai 8% secara tahunan, didorong oleh pertumbuhan sektor industri dan pengembangan kawasan perumahan baru, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah utara.9

Disparitas Tajam Antara Wilayah Utara dan Selatan

Meskipun angka agregat provinsi terlihat impresif, dekonstruksi data per kabupaten/kota mengungkap sebuah realitas yang berbeda dan menunjukkan adanya disparitas yang tajam. Data BPS secara jelas memetakan kesenjangan ini. Empat kota utama di Banten—Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan—bersama dengan dua kabupaten penyangganya, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang, telah mencapai 100% elektrifikasi rumah tangga.1 Wilayah-wilayah ini merupakan jantung ekonomi provinsi, pusat industri, perdagangan, jasa, dan pertumbuhan populasi urban.

Sebaliknya, dua kabupaten yang terletak di bagian selatan provinsi menunjukkan angka yang lebih rendah. Kabupaten Pandeglang mencatatkan 99,99% rumah tangga teraliri listrik PLN, dengan sebagian kecil masih menggunakan sumber non-listrik. Namun, anomali yang paling signifikan terdapat di Kabupaten Lebak, di mana persentase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN hanya mencapai 98,35%, dengan 1,65% sisanya masih bergantung pada sumber non-listrik.1 Angka ini, meskipun tampak kecil selisihnya, merepresentasikan ribuan rumah tangga dan secara definitif membuktikan bahwa sisa tantangan elektrifikasi di Provinsi Banten secara eksklusif terkonsentrasi di dua kabupaten paling selatan ini.

Tabel berikut menyajikan data BPS yang mengilustrasikan disparitas tersebut secara kuantitatif.

Tabel 1: Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan Listrik per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Data 2023/2024)

Kabupaten/Kota

% Rumah Tangga Listrik PLN

% Rumah Tangga Listrik Non-PLN

% Rumah Tangga Non-Listrik

Total % Teraliri Listrik

Kab. Pandeglang

99,99

0,00

0,01

99,99

Kab. Lebak

98,35

0,00

1,65

98,35

Kab. Tangerang

100,00

0,00

0,00

100,00

Kab. Serang

100,00

0,00

0,00

100,00

Kota Tangerang

100,00

0,00

0,00

100,00

Kota Cilegon

98,72

1,28

0,00

100,00

Kota Serang

100,00

0,00

0,00

100,00

Kota Tangerang Selatan

100,00

0,00

0,00

100,00

Provinsi Banten (Total)

99,75

0,04

0,16

99,79

Sumber: Diadaptasi dari data BPS yang dilaporkan oleh Manado Post.1 Angka untuk Provinsi Banten adalah agregat yang dilaporkan dalam sumber tersebut.

Realitas di Balik Angka: Kualitas, Keandalan, dan Kesenjangan Pembangunan

Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa metrik "rasio elektrifikasi" yang umum digunakan seringkali bersifat menyesatkan. Metrik ini, yang hanya menghitung persentase rumah tangga dengan sumber penerangan listrik, gagal menangkap dimensi krusial lainnya seperti kualitas, durasi, keandalan, dan keamanan pasokan. Laporan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) secara eksplisit mengkonfirmasi fenomena ini di tingkat nasional, di mana banyak desa yang secara data sudah teraliri listrik, namun pada praktiknya hanya menyala selama 4 hingga 12 jam per hari.10 Pernyataan Menteri Desa Yandri Susanto juga menegaskan bahwa di Banten, meskipun tidak banyak, masih terdapat desa yang belum teraliri listrik sama sekali.11

Studi kasus di Desa Bama, Kabupaten Pandeglang, memberikan bukti konkret di lapangan. Meskipun secara statistik kabupaten ini hampir mencapai 100% elektrifikasi, di desa tersebut masih terdapat 170 dari 740 Kepala Keluarga (KK) yang belum memiliki kWh meter sendiri dan terpaksa menyalur listrik dari tetangga.2 Praktik ini tidak hanya menandakan ketidakmampuan ekonomi untuk membayar biaya pasang baru, tetapi juga menciptakan kondisi pasokan yang tidak stabil dan tidak aman.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angka rasio elektrifikasi yang tinggi adalah sebuah vanity metric yang mengaburkan masalah sebenarnya. Tantangan elektrifikasi di Banten bukan lagi sekadar "menyambungkan" beberapa rumah tangga terakhir yang belum terhubung, melainkan telah bergeser menjadi "meningkatkan kualitas dan keandalan layanan" bagi mereka yang sudah terhubung secara parsial, tidak aman, atau tidak andal. Ini adalah kesenjangan fundamental antara akses dan kualitas layanan.

Lebih jauh lagi, kesenjangan akses listrik antara Banten Utara dan Selatan bukanlah isu yang berdiri sendiri. Ini adalah cerminan dari kesenjangan pembangunan struktural yang lebih dalam. Wilayah utara, dengan elektrifikasi penuh, merupakan pusat industri, perdagangan, dan perumahan modern yang mendorong pertumbuhan konsumsi listrik.9 Sebaliknya, wilayah selatan, khususnya Lebak dan Pandeglang, memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih rendah, tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan struktur ekonomi yang sangat bergantung pada sektor pertanian.13 Ketergantungan pada sektor informal dan akses yang belum merata terhadap pendidikan dan kesehatan menjadikan wilayah ini tertinggal.13 Oleh karena itu, solusi untuk masalah elektrifikasi di Banten Selatan tidak dapat dipandang sebagai proyek teknis semata oleh PLN, melainkan harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan daerah yang komprehensif untuk mengatasi keterisolasian, kemiskinan, dan ketertinggalan infrastruktur secara menyeluruh.

Bab 2: Identifikasi Desa dan Dusun dengan Akses Listrik Terbatas

Bab ini menjawab permintaan inti dari analisis ini, yaitu untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi desa serta dusun di Provinsi Banten yang belum teraliri listrik atau hanya menerima pasokan listrik dengan durasi terbatas. Namun, upaya ini dihadapkan pada tantangan fundamental berupa inkonsistensi data antar lembaga pemerintah. Dengan mengakui keterbatasan ini secara transparan, bab ini akan menyajikan daftar indikatif desa yang teridentifikasi bermasalah dan mengklasifikasikan akar permasalahannya, yang menjadi dasar untuk merumuskan solusi yang tepat sasaran.

Tantangan Sinkronisasi Data Elektrifikasi Pedesaan

Salah satu hambatan utama dalam perencanaan elektrifikasi yang akurat adalah ketidaksinkronan data di tingkat nasional, yang dampaknya terasa hingga ke tingkat provinsi. Terdapat perbedaan signifikan dalam jumlah desa yang dilaporkan belum berlistrik oleh berbagai kementerian. Pada satu kesempatan, Kementerian ESDM menyebutkan angka nasional mencapai 12.669 desa.15 Di sisi lain, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melaporkan angka yang jauh lebih rendah, berkisar antara 3.000 hingga 3.264 desa.10

Inkonsistensi ini bahkan diakui di tingkat tertinggi. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dalam rapat kerja bersama DPR RI, secara terbuka menyoroti bahwa data desa belum berlistrik yang dimiliki pemerintah tidak sinkron dengan data PT PLN (Persero).17 Beliau menegaskan bahwa akurasi data adalah syarat utama agar program dapat berjalan tepat sasaran. Ketidakharmonisan data ini bukan sekadar masalah administratif; ini adalah penghambat strategis yang mempersulit alokasi anggaran, penentuan target yang realistis, dan evaluasi program yang objektif. Tanpa basis data tunggal yang akurat dan terverifikasi, program-program vital seperti Listrik Perdesaan (Lisdes) berisiko salah sasaran, tidak efisien, dan gagal mengatasi akar masalah di lapangan.

Klasifikasi Desa Bermasalah Listrik di Banten

Meskipun tidak ada daftar definitif yang komprehensif dari sumber yang tersedia, analisis terhadap berbagai laporan dan berita memungkinkan kita untuk mengklasifikasikan masalah akses listrik di Banten ke dalam beberapa kategori yang berbeda. Setiap kategori memerlukan pendekatan solusi yang unik.

  1. Tanpa Listrik karena Pilihan Adat: Kategori ini paling jelas teridentifikasi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Masyarakat Adat Baduy Dalam, yang mendiami tiga kampung utama (tangtu) yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, secara sadar dan konsisten menolak penggunaan listrik dan teknologi modern sebagai bagian dari upaya memegang teguh aturan adat mereka.18 Ini bukanlah masalah teknis atau ekonomi, melainkan isu sosial-budaya yang memerlukan dialog dan penghormatan terhadap kearifan lokal, bukan pemaksaan solusi teknis.
  2. Akses Terbatas karena Faktor Ekonomi dan Geografis: Kategori ini mencakup rumah tangga di desa-desa yang secara geografis sulit dijangkau oleh jaringan PLN atau yang penduduknya tidak mampu secara ekonomi untuk membayar biaya pemasangan baru. Contoh nyata ditemukan di Desa Bama, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, di mana sekitar 170 dari 740 KK dilaporkan belum memiliki kWh meter sendiri dan menyalur listrik dari tetangga.2 Kondisi serupa juga terjadi di
    Kampung Krangdan, Desa Terate, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, di mana lebih dari 20 rumah tangga masih menyambung dari tetangga karena keterbatasan ekonomi.2 Kasus di Desa Terate ini menarik karena lokasinya yang berdekatan dengan proyek vital PLTU Jawa 7, menunjukkan bahwa "kantong-kantong" kemiskinan energi dapat eksis bahkan di wilayah yang secara makro dianggap sebagai lumbung energi.
  3. Kualitas Jaringan Rendah (Durasi Nyala <12 Jam dan Sering Padam): Ini adalah masalah yang paling sulit diukur namun sangat dirasakan oleh masyarakat. Laporan Kemendes PDTT menyebutkan adanya desa yang terdata berlistrik namun nyalanya hanya 4 hingga 12 jam per hari.10 Meskipun tidak ada daftar spesifik desa di Banten yang masuk kategori ini, keluhan historis dari warga di
    wilayah Lebak Selatan mengenai pemadaman listrik yang sering terjadi, terutama saat musim hujan, mengindikasikan kuat bahwa masalah keandalan dan durasi pasokan adalah isu nyata di sana.3 PLN sendiri mengakui kesulitan dalam memelihara jaringan yang melintasi kawasan hutan lebat di wilayah tersebut.3
  4. Sambungan Informal dan Tidak Aman: Kategori ini merupakan konsekuensi langsung dari kategori kedua. Praktik menyalur atau "nyantol" dari tetangga, seperti yang terjadi di Desa Bama dan Desa Terate 2, menciptakan jaringan listrik informal yang tidak standar, tidak aman, dan berisiko tinggi menyebabkan korsleting atau kebakaran. Rumah tangga dalam kategori ini secara statistik mungkin terhitung "berlistrik", namun mereka tidak mendapatkan layanan yang layak dan aman.

Klasifikasi ini menunjukkan bahwa masalah elektrifikasi di Banten jauh lebih kompleks daripada sekadar biner "ada" atau "tiada" listrik. Setiap kategori menuntut intervensi yang berbeda: dialog budaya untuk Baduy, program bantuan sambungan baru dan subsidi untuk masyarakat miskin, peningkatan keandalan jaringan atau solusi microgrid untuk daerah dengan pasokan tidak stabil, serta penertiban dan edukasi untuk sambungan informal.

Daftar Indikatif Desa/Dusun dengan Akses Listrik Terbatas

Berdasarkan analisis di atas, tabel berikut menyajikan daftar indikatif desa dan dusun di Banten yang teridentifikasi memiliki masalah akses listrik. Penting untuk ditekankan bahwa daftar ini tidak definitif dan memerlukan verifikasi serta pendataan lebih lanjut di lapangan. Namun, ini dapat menjadi titik awal yang kuat untuk perencanaan intervensi oleh pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait.

Tabel 2: Daftar Indikatif Desa/Dusun di Banten yang Teridentifikasi Belum atau Kurang Teraliri Listrik

No.

Kabupaten

Kecamatan

Desa/Dusun/Kampung

Kategori Masalah

Keterangan / Sumber Data

1

Lebak

Leuwidamar

Desa Kanekes (Kampung Cikeusik, Cikertawana, Cibeo)

Tanpa Listrik - Pilihan Adat

Masyarakat Baduy Dalam secara adat menolak modernisasi termasuk listrik.18

2

Pandeglang

Pagelaran

Desa Bama

Akses Terbatas - Ekonomi / Sambungan Informal

Sekitar 170 dari 740 KK tidak memiliki kWh meter sendiri dan menyalur dari tetangga.2

3

Serang

Kramatwatu

Desa Terate (Kampung Krangdan)

Akses Terbatas - Ekonomi / Sambungan Informal

Lebih dari 20 rumah tangga belum memiliki aliran listrik sendiri karena keterbatasan ekonomi, menyambung dari tetangga.2

4

Lebak

Berbagai Kecamatan di Lebak Selatan (misal: Malingping, Panggarangan)

(Tidak spesifik)

Kualitas Jaringan Rendah - Sering Padam

Warga mengeluhkan pemadaman listrik yang sering terjadi dan berlangsung berjam-jam, terutama saat musim hujan.3

5

Lebak & Pandeglang

(Tidak spesifik)

(Tidak spesifik)

Tanpa Listrik / Durasi Nyala < 12 Jam

Mendes PDT menyebut masih ada desa di Banten yang belum teraliri listrik atau hanya menyala 4-12 jam per hari.10

Tabel ini secara efektif menggarisbawahi urgensi untuk melakukan pemetaan yang komprehensif dan partisipatif. Upaya pemerintah, baik melalui program Lisdes 23 maupun inisiatif lainnya, harus didahului dengan validasi data di lapangan untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar menjawab kebutuhan spesifik di setiap lokasi.

Bab 3: Analisis Faktor-Faktor Penghambat Elektrifikasi di Banten Selatan

Memahami mengapa kesenjangan elektrifikasi di Provinsi Banten, khususnya di wilayah selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang), terus bertahan adalah krusial untuk merancang solusi yang efektif dan berkelanjutan. Bab ini akan menggali lebih dalam faktor-faktor fundamental yang menjadi penghambat utama, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga domain yang saling terkait: kondisi geografis dan kerentanan bencana, tantangan sosio-ekonomi, serta kelemahan teknis pada jaringan yang ada.

Kondisi Geografis, Isolasi, dan Kerentanan Bencana

Wilayah Banten Selatan memiliki karakteristik geografis yang sangat berbeda dengan wilayah utara. Topografi Kabupaten Lebak dan Pandeglang didominasi oleh pegunungan dan perbukitan, seperti yang tercakup dalam kawasan Pegunungan Kendeng dan Taman Nasional Ujung Kulon.25 Kondisi ini secara inheren membuat pembangunan infrastruktur linier seperti jaringan transmisi dan distribusi listrik menjadi sangat sulit, memakan biaya tinggi, dan memerlukan waktu yang lama.

Tantangan ini diperparah oleh tingginya kerentanan wilayah ini terhadap bencana hidrometeorologi. Curah hujan tahunan yang tinggi, berkisar antara 2.000-4.000 mm 27, seringkali memicu banjir dan tanah longsor. Berita dari berbagai sumber secara konsisten melaporkan kejadian di mana jembatan-jembatan vital putus akibat terjangan banjir, seperti yang terjadi pada Jembatan Cimadur yang menghubungkan Desa Bayah Timur dan Desa Cimancak di Lebak.28 Kejadian serupa juga dilaporkan di Kecamatan Cilograng dan wilayah lainnya, yang mengakibatkan desa-desa menjadi terisolir selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.32

Kondisi ini menciptakan sebuah "perangkap infrastruktur". Investasi besar yang dilakukan untuk membangun jaringan listrik dan akses jalan menjadi sia-sia ketika infrastruktur tersebut rusak atau hancur oleh bencana alam. Proses perbaikan yang lambat dan mahal seringkali hanya mengembalikan kondisi ke titik awal, tanpa meningkatkan ketahanan terhadap bencana di masa depan. Keterisolasian yang berulang ini tidak hanya menghambat pembangunan jaringan listrik baru tetapi juga menyulitkan pemeliharaan jaringan yang sudah ada. Lebih jauh, masalah infrastruktur dasar yang lebih luas juga terlihat dari laporan krisis air bersih yang secara rutin melanda puluhan desa di belasan kecamatan di Lebak Selatan, menunjukkan tantangan struktural yang mendalam.35

Korelasi dengan Kesejahteraan dan Pembangunan Manusia

Kesenjangan akses listrik bukanlah fenomena yang terisolasi; ia berjalan seiring dan berkorelasi kuat dengan berbagai indikator kesejahteraan sosial-ekonomi. Provinsi Banten, secara keseluruhan, tercatat memiliki indeks kebahagiaan terendah di Indonesia pada tahun 2021.13 Kesenjangan ini semakin tajam ketika data dibedah per wilayah. Kabupaten/kota di Banten Utara, seperti Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, memiliki status pembangunan manusia "sangat tinggi" (IPM ≥ 80). Sebaliknya, kabupaten di selatan seperti Lebak dan Pandeglang berada pada status "sedang" atau "tinggi" (IPM < 80).14

Tingkat kemiskinan juga menunjukkan pola yang serupa, dengan konsentrasi yang lebih tinggi di wilayah selatan, di mana banyak masyarakat bergantung pada pekerjaan di sektor informal dan pertanian.13 Ketertinggalan ini juga tercermin pada kualitas infrastruktur publik lainnya. Laporan mengenai kondisi sekolah di pedalaman Lebak melukiskan gambaran yang memprihatinkan, dengan ratusan gedung sekolah dilaporkan rusak berat, bahkan beberapa di antaranya roboh dan membahayakan siswa.39

Hubungan antara ketiadaan listrik dan ketertinggalan pembangunan ini bersifat kausal, bukan sekadar korelasi. Tanpa listrik, aktivitas produktif dan pembelajaran di malam hari menjadi mustahil. Menteri Desa secara eksplisit menyoroti dampak ini: "Kalau tidak berlistrik, bagaimana anak mau belajar? Bagaimana menyelesaikan PR?".10 Ketiadaan listrik menghambat pengembangan usaha kecil dan menengah (UMKM) di luar sektor pertanian, membatasi akses terhadap informasi digital, dan menghalangi modernisasi layanan kesehatan yang memerlukan listrik untuk penyimpanan vaksin atau operasional alat medis.

Oleh karena itu, memandang elektrifikasi hanya sebagai penyediaan "fasilitas kenyamanan" adalah sebuah kesalahan konseptual. Di Banten Selatan, elektrifikasi adalah investasi dasar dan sebuah enabler (pemungkin) yang membuka potensi di sektor-sektor krusial lainnya. Argumen ekonomi untuk mendanai proyek elektrifikasi di pedesaan harus memperhitungkan dampak pengganda (multiplier effect) ini terhadap pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi lokal, sebuah pandangan yang sejalan dengan analisis Bank Dunia yang menempatkan elektrifikasi pedesaan sebagai kunci pengentasan kemiskinan.44

Keandalan Jaringan Eksisting yang Rendah

Bagi desa-desa di Banten Selatan yang sudah terjangkau oleh jaringan PLN, tantangan belum berakhir. Masalah beralih dari ketiadaan akses menjadi kualitas layanan yang buruk. Warga di wilayah Lebak Selatan, seperti di Kecamatan Malingping dan Panggarangan, secara historis telah lama mengeluhkan pelayanan PLN yang tidak andal, ditandai dengan pemadaman listrik yang sering terjadi secara mendadak dan berlangsung berjam-jam.3

Pemadaman ini tidak hanya mengganggu aktivitas rumah tangga tetapi juga melumpuhkan kegiatan ekonomi. Seorang pengusaha warung internet (warnet) di Malingping melaporkan kerugian akibat pemadaman yang terjadi hampir setiap hari, terutama selama musim hujan.3 Kerusakan peralatan elektronik seperti televisi, kulkas, dan komputer juga menjadi keluhan umum akibat fluktuasi tegangan dan pemadaman mendadak.

Pihak PLN sendiri mengakui adanya tantangan teknis dalam menjaga keandalan jaringan di wilayah ini. Manajer PLN Wilayah Banten Selatan menjelaskan bahwa gangguan seringkali disebabkan oleh kerusakan pada jaringan yang melintasi kawasan hutan yang luas, sehingga titik gangguan sulit untuk dideteksi dan diperbaiki dengan cepat.3 Hal ini menegaskan bahwa model jaringan terpusat yang panjang dan rentan memiliki kelemahan inheren di wilayah dengan geografi yang kompleks. Kondisi ini memperkuat argumen bahwa solusi yang lebih tangguh dan terdesentralisasi diperlukan, tidak hanya untuk menjangkau yang belum terjangkau, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas layanan bagi mereka yang sudah terhubung.

Bab 4: Potensi Solusi: Pemanfaatan Sumber Daya Energi Terbarukan Lokal

Setelah mengidentifikasi masalah dan menganalisis faktor-faktor penghambat elektrifikasi di Banten Selatan, bab ini beralih dari analisis masalah ke eksplorasi solusi yang paling layak. Fokus utama adalah pada pemanfaatan potensi sumber daya energi terbarukan (EBT) yang spesifik dan terukur di wilayah tersebut. Analisis menunjukkan bahwa EBT bukan sekadar alternatif, melainkan solusi yang paling logis dan strategis untuk mengatasi tantangan geografis, ekonomi, dan keandalan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Potensi Energi Surya (PLTS) yang Melimpah

Provinsi Banten, khususnya wilayah selatannya, diberkahi dengan potensi energi surya yang sangat signifikan dan layak untuk dikembangkan secara masif. Data dari Global Solar Atlas, sebuah platform pemetaan yang didukung oleh Bank Dunia, menyediakan bukti kuantitatif yang kuat. Untuk titik sampel di wilayah Banten Selatan (sekitar koordinat -6.90° LS, 106.24° BT), nilai Global Horizontal Irradiation (GHI)—ukuran total radiasi matahari yang diterima permukaan horizontal—mencapai 1752.4 kWh/m² per tahun. Angka ini menghasilkan potensi output listrik spesifik atau Specific Photovoltaic Power Output (PVOUT) sebesar 1409.6 kWh/kWp per tahun.4

Sebagai pembanding, wilayah yang lebih maju seperti Tangerang Selatan justru memiliki GHI yang sedikit lebih rendah, yaitu 1645.3 kWh/m².46 Hal ini mengindikasikan bahwa potensi energi surya di wilayah selatan yang tertinggal justru lebih unggul secara teknis. Laporan-laporan dari lembaga seperti Institute for Essential Services Reform (IESR) juga secara konsisten menggarisbawahi potensi energi surya nasional yang sangat besar, mencapai ratusan Gigawatt, yang hingga kini pemanfaatannya masih sangat minim.47 Dengan potensi sebesar ini, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), baik dalam skala atap individu (rooftop) maupun komunal, menjadi solusi yang sangat menjanjikan untuk desa-desa terpencil di Lebak dan Pandeglang.

Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)

Selain matahari, sumber daya air dari banyak sungai yang mengalir di wilayah pegunungan Banten Selatan juga menawarkan potensi energi yang signifikan dalam skala kecil hingga menengah. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) adalah teknologi yang memanfaatkan aliran dan ketinggian jatuh air sungai untuk menghasilkan listrik, sangat cocok untuk melistriki satu dusun atau klaster permukiman secara mandiri.

Studi-studi teknis telah mengidentifikasi potensi spesifik di beberapa lokasi. Sebuah penelitian konseptual desain yang dipublikasikan di Jurnal Teknik Untirta secara detail menganalisis potensi di Curug Kebo, Desa Sumberwaras, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak. Dengan memanfaatkan aliran Sungai Cibinuangeun yang memiliki debit desain 0,205 m³/s dan ketinggian jatuh (head) efektif 5,469 meter, lokasi ini mampu membangkitkan energi listrik sebesar 4,56 kW.5 Daya sebesar ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan penerangan jalan umum dan kebutuhan dasar beberapa rumah tangga di sekitar lokasi. Studi lain di lokasi Lebak Siuh 1 mengidentifikasi potensi yang lebih besar, yaitu 17,04 kW, berdasarkan debit air 0,247 m³/detik dan kepala air 7,21 meter.50

Meskipun skalanya "mikro", dampak dari pembangkit-pembangkit ini sangat "makro" bagi komunitas yang dilayaninya. Keberadaan PLTMH dapat menyediakan listrik 24 jam yang andal, independen dari jaringan utama PLN yang sering terganggu.

Kelayakan Solusi Off-Grid dan Microgrid yang Tangguh Bencana

Mengingat tantangan geografis berupa medan yang sulit dan kerentanan tinggi terhadap bencana alam yang dibahas pada Bab 3, solusi kelistrikan terdesentralisasi menjadi pilihan yang paling rasional. Sistem off-grid (sepenuhnya terlepas dari jaringan utama) atau microgrid (jaringan skala kecil yang bisa beroperasi secara mandiri atau terhubung ke jaringan utama) menawarkan ketahanan (resilience) yang tidak dimiliki oleh model perluasan jaringan konvensional.

Ketika terjadi bencana seperti banjir atau longsor yang merusak tiang-tiang listrik dan memutus jaringan utama PLN, desa yang memiliki PLTS komunal atau PLTMH dengan sistem microgrid dapat mengaktifkan "mode pulau" (island mode). Dalam mode ini, desa tersebut tetap memiliki pasokan listrik untuk kebutuhan-kebutuhan kritis seperti penerangan, komunikasi, pompa air, dan fasilitas kesehatan, meskipun seluruh wilayah di sekitarnya mengalami pemadaman total.51 Ini adalah lompatan kualitatif dari sekadar memiliki listrik menjadi memiliki ketahanan energi.

Logika ini mengarah pada sebuah kesimpulan strategis: memaksakan solusi terpusat (perluasan jaringan) ke wilayah Banten Selatan yang rentan bencana adalah pendekatan yang tidak efisien, tidak ekonomis, dan tidak tangguh. Sebaliknya, berinvestasi pada solusi terdesentralisasi yang memanfaatkan sumber daya energi lokal yang melimpah (surya dan air) adalah pilihan yang secara fundamental lebih unggul, lebih cepat diimplementasikan, dan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Pendekatan "kecil itu indah" menjadi relevan di sini. Proyek-proyek EBT skala kecil (mikro) memiliki keunggulan signifikan. Jika proyek skala besar memerlukan perencanaan, perizinan, dan investasi masif yang memakan waktu bertahun-tahun, proyek skala mikro dapat didanai melalui mekanisme yang lebih fleksibel seperti Dana Desa 55, dikelola langsung oleh komunitas melalui BUMDes, dan dibangun dalam waktu yang relatif singkat. Dampak sosial-ekonominya pun dapat langsung dirasakan oleh komunitas sasaran, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai studi kasus keberhasilan di daerah lain di Indonesia.57 Strategi elektrifikasi Banten Selatan karenanya harus mengadopsi pendekatan granular: melistriki dusun per dusun menggunakan solusi skala kecil yang paling sesuai dengan potensi lokal, daripada menunggu satu proyek raksasa yang mungkin tidak pernah terealisasi atau tidak berkelanjutan.

Tabel berikut merangkum matriks potensi dan kelayakan solusi EBT untuk beberapa contoh lokasi prioritas di Banten.

Tabel 3: Matriks Potensi dan Kelayakan Energi Terbarukan untuk Desa Terisolir di Banten

No.

Lokasi Prioritas (Contoh)

Tantangan Utama

Potensi EBT Primer

Estimasi Potensi Teknis

Model Implementasi yang Disarankan

Perkiraan Biaya Investasi (CAPEX)

Model Pengelolaan

1

Desa-desa terpencil di Kec. Bayah, Cilograng, Lebak

Isolasi geografis, kerentanan bencana

PLTS

GHI: ~1752 kWh/m²/tahun 4

PLTS Komunal Off-Grid (10-50 kWp)

Rp 150 juta - Rp 750 juta

BUMDes / Koperasi Energi

2

Desa Sumberwaras, Kec. Malingping, Lebak

Kualitas jaringan rendah

PLTMH

4,56 kW dari Sungai Cibinuangeun 5

PLTMH Skala Dusun untuk penerangan jalan & rumah tangga

Rp 200 juta - Rp 400 juta

BUMDes / Kelompok Masyarakat

3

Desa Bama, Kec. Pagelaran, Pandeglang

Kemiskinan, sambungan informal

PLTS

GHI: ~1752 kWh/m²/tahun 4

Program Bantuan Pasang Baru (BPB) dengan PLTS Atap (1-2 kWp per rumah)

Rp 15 juta - Rp 30 juta per rumah

Individu / Koperasi

4

Desa Kanekes (Baduy Dalam), Kec. Leuwidamar, Lebak

Pilihan adat (menolak listrik)

PLTS (untuk zona penyangga/Baduy Luar)

GHI: ~1752 kWh/m²/tahun 4

PLTS untuk fasilitas publik di zona luar (sekolah, puskesmas pembantu) dengan persetujuan adat

Tergantung skala

Kolaborasi Pemerintah Desa & Lembaga Adat

Catatan: Perkiraan biaya investasi (CAPEX) bersifat sangat kasar dan hanya untuk ilustrasi, berdasarkan analisis biaya umum PLTS dan PLTMH.60 Biaya aktual sangat bergantung pada teknologi, lokasi, dan skala proyek.

Matriks ini berfungsi sebagai inti dari rekomendasi teknis laporan ini. Ia mentransformasikan analisis masalah menjadi sebuah peta jalan solusi yang dapat ditindaklanjuti, dengan menghubungkan lokasi-lokasi spesifik dengan solusi teknis yang paling layak dan model implementasi yang paling sesuai.

Bab 5: Kerangka Kebijakan dan Model Implementasi Elektrifikasi Pedesaan

Keberhasilan implementasi solusi energi terbarukan yang diuraikan pada bab sebelumnya sangat bergantung pada ketersediaan kerangka kebijakan yang mendukung dan model implementasi yang efektif di tingkat lapangan. Bab ini akan mengkaji berbagai instrumen kebijakan yang ada, mulai dari program pemerintah pusat hingga alokasi Dana Desa, serta menganalisis model pengelolaan yang paling potensial untuk memastikan keberlanjutan proyek elektrifikasi di pedesaan Banten.

Instrumen Kebijakan dan Program Pemerintah

Pemerintah telah memiliki beberapa program yang menjadi tulang punggung upaya elektrifikasi nasional. Program Listrik Perdesaan (Lisdes) merupakan inisiatif utama yang telah berjalan sejak tahun 2003, didanai melalui berbagai sumber seperti APBD Provinsi, APBN, CSR perusahaan, dan penugasan langsung kepada PT PLN (Persero).23 Program ini bertujuan memberikan listrik gratis kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di perdesaan dan masyarakat miskin perkotaan. Hingga tahun 2021, program Lisdes di Banten telah menjangkau lebih dari 232.000 RTS.23 PLN juga secara nasional terus berkomitmen menjalankan program Lisdes, dengan target melistriki ratusan ribu rumah tangga dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2034.24

Selain itu, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM juga memiliki program spesifik untuk daerah terpencil yang tidak terjangkau jaringan, seringkali menggunakan pendekatan EBT. Program seperti Energi Terbarukan Untuk Desa (PETDES) yang menyasar wilayah Indonesia Timur menjadi contoh bagaimana EBT digunakan sebagai solusi utama untuk daerah terisolasi.63 Program pembangunan PLTS Terpusat di ratusan lokasi juga menjadi agenda prioritas nasional.64

Peran Krusial Dana Desa sebagai Instrumen Pendanaan Desentralisasi

Salah satu terobosan kebijakan paling signifikan dalam dekade terakhir adalah alokasi Dana Desa, yang memberikan kewenangan fiskal langsung kepada pemerintah desa. Regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) secara eksplisit telah membuka pintu bagi pemanfaatan Dana Desa untuk sektor energi. Permendes PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021, misalnya, memasukkan "desa berenergi bersih dan terbarukan" sebagai salah satu indikator prioritas dalam program pemulihan ekonomi nasional.56

Secara spesifik, peraturan tersebut mengizinkan penggunaan Dana Desa untuk kegiatan "Penyediaan listrik Desa," yang mencakup pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, instalasi biogas, hingga pembangunan jaringan distribusi skala kecil (non-PLN).67 Kebijakan ini terus berlanjut, di mana prioritas penggunaan Dana Desa untuk tahun-tahun berikutnya, seperti 2024 dan 2025, juga mencakup pembangunan sarana dan prasarana energi alternatif dan pemanfaatan energi terbarukan.69 Ini adalah sebuah instrumen pendanaan desentralisasi yang sangat kuat, yang secara teoritis memungkinkan desa untuk secara proaktif mengatasi masalah listriknya sendiri tanpa harus sepenuhnya bergantung pada program dari pemerintah pusat atau provinsi.

Model Pengelolaan Berbasis Komunitas: BUMDes sebagai Kunci Keberlanjutan

Salah satu pelajaran terpenting dari proyek-proyek bantuan infrastruktur di masa lalu adalah bahwa tantangan terbesar bukanlah pada saat pembangunan (construction), melainkan pada fase pasca-pembangunan, yaitu operasi dan pemeliharaan (Operation & Maintenance - O&M). Banyak proyek EBT yang didanai pemerintah atau donor gagal dan menjadi aset mangkrak karena tidak ada model O&M yang jelas dan berkelanjutan setelah proyek diserahterimakan.61

Untuk mengatasi masalah ini, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diposisikan sebagai lembaga lokal yang paling ideal untuk mengelola aset energi komunal seperti PLTS atau PLTMH. BUMDes dapat menjalankan beberapa fungsi krusial:

  1. Pengelolaan Teknis: Merekrut dan menggaji operator lokal yang telah dilatih untuk melakukan pemeliharaan rutin, seperti pembersihan panel surya dan pengecekan mesin.71
  2. Pengelolaan Keuangan: Menarik iuran bulanan dari setiap rumah tangga penerima manfaat. Dana yang terkumpul digunakan untuk menutupi biaya operasional, gaji operator, dan yang terpenting, membentuk dana cadangan untuk penggantian komponen yang memiliki umur terbatas, seperti baterai dan inverter.61
  3. Pengembangan Usaha: Menjual kelebihan listrik (jika ada) ke PLN atau unit usaha lain di desa, sehingga menciptakan sumber Pendapatan Asli Desa (PADes) yang baru dan berkelanjutan.59

Studi kasus dari Desa Muara Enggelam di Kutai Kartanegara menunjukkan bagaimana BUMDes "Bersinar Desaku" berhasil mengelola PLTS Komunal secara berkelanjutan, bahkan memenangkan berbagai penghargaan dan memberikan kontribusi signifikan terhadap PADes.74 Namun, pembentukan dan pengelolaan BUMDes juga memiliki tantangannya sendiri, termasuk keterbatasan kapasitas manajerial dan teknis SDM di desa, serta potensi intervensi politik dan konflik kepentingan lokal yang dapat menghambat profesionalisme.75

Kemitraan dan Skema Insentif

Untuk proyek dengan skala yang lebih besar atau yang memerlukan teknologi lebih canggih, mengandalkan Dana Desa saja mungkin tidak cukup. Di sinilah model Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public-Private Partnership (PPP) menjadi relevan. Model ini memungkinkan pemerintah untuk berkolaborasi dengan sektor swasta, di mana pihak swasta dapat menyediakan modal, teknologi, dan efisiensi operasional, sementara pemerintah menyediakan dukungan regulasi, perizinan, dan lahan.77

Untuk menarik minat investasi swasta, terutama di sektor EBT yang biaya awalnya masih relatif tinggi dibandingkan energi fosil, pemerintah menyediakan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal. Insentif ini mencakup tax allowance (pengurangan penghasilan neto), tax holiday (pembebasan PPh badan untuk jangka waktu tertentu), serta fasilitas pembebasan bea masuk untuk impor komponen EBT.80 Kajian dari Pusat Studi Energi UGM menunjukkan bahwa insentif seperti subsidi bunga, carbon credit, dan tax holiday secara efektif dapat meningkatkan kelayakan ekonomi proyek PLTMH dan PLTS.80 Kebijakan ini, meskipun seringkali ditujukan untuk proyek skala besar, dapat diadaptasi untuk mendorong investasi swasta atau CSR dalam proyek EBT skala kecil hingga menengah di pedesaan.

Analisis Kesenjangan: Kebijakan vs. Implementasi

Meskipun kerangka kebijakan di tingkat pusat sudah sangat progresif—terutama dengan adanya izin penggunaan Dana Desa untuk energi—terdapat kesenjangan yang signifikan dengan kapasitas implementasi di tingkat desa. "Membolehkan" desa menggunakan dananya untuk membangun PLTS tidak secara otomatis berarti desa "mampu" melakukannya. Tantangan implementasi Dana Desa secara umum, seperti yang diidentifikasi dalam berbagai studi, meliputi keterbatasan kapasitas SDM dalam perencanaan dan pelaporan, kerumitan administrasi, dan seringnya keterlambatan pencairan dana.81

Untuk proyek yang bersifat teknis seperti PLTS atau PLTMH, tantangan ini menjadi berlipat ganda. Pemerintah desa dan BUMDes seringkali tidak memiliki pengetahuan teknis yang memadai untuk menyusun proposal yang bankable, membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang akurat, memilih teknologi yang tepat, mengawasi proses konstruksi, dan merancang skema O&M yang berkelanjutan. Tanpa adanya pendampingan teknis yang proaktif dan intensif dari pemerintah kabupaten/provinsi (khususnya Dinas ESDM) dan tenaga pendamping desa profesional, kebijakan yang baik di tingkat pusat berisiko menjadi "macan kertas" yang tidak dapat dieksekusi di lapangan. Oleh karena itu, menjembatani kesenjangan kapasitas ini menjadi agenda paling mendesak untuk mewujudkan elektrifikasi pedesaan melalui pendekatan desentralisasi.

Bab 6: Rekomendasi Strategis dan Rencana Aksi

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap status elektrifikasi, faktor penghambat, potensi solusi, dan kerangka kebijakan yang ada, bab ini merumuskan serangkaian rekomendasi strategis dan rencana aksi yang konkret dan dapat ditindaklanjuti. Rekomendasi ini ditujukan kepada para pemangku kepentingan utama—Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan PT PLN—dengan tujuan mengakselerasi pencapaian akses listrik yang andal dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat di Provinsi Banten, khususnya di wilayah selatan.

Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten)

Pemerintah Daerah, baik di tingkat Provinsi Banten maupun Kabupaten Lebak dan Pandeglang, memegang peran sentral sebagai perencana, fasilitator, dan pengawas pembangunan di wilayahnya.

  1. Membentuk Gugus Tugas dan Basis Data Terpadu Elektrifikasi:
  • Aksi: Pemerintah Provinsi Banten, melalui Bappeda, hendaknya menginisiasi pembentukan Gugus Tugas Percepatan Elektrifikasi Pedesaan. Gugus tugas ini harus melibatkan lintas dinas terkait, seperti Dinas ESDM, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), serta perwakilan dari PLN UID Banten dan pemerintah kabupaten.
  • Tujuan: Tugas utama gugus tugas ini adalah membangun sebuah basis data tunggal dan peta digital (One Map) elektrifikasi Banten yang terperinci hingga ke tingkat dusun dan RT. Proses ini harus melibatkan verifikasi data di lapangan dan pemetaan partisipatif melalui forum Musrenbangdes dan Musrenbangcam.83 Peta ini harus secara jelas mengklasifikasikan desa/dusun berdasarkan empat kategori masalah yang diidentifikasi dalam Bab 2 (tanpa listrik karena adat, tanpa listrik karena ekonomi/geografis, kualitas rendah, sambungan informal).
  • Keluaran: Sebuah peta jalan elektrifikasi yang akurat dan menjadi dasar bagi semua intervensi kebijakan, program, dan alokasi anggaran.
  1. Menguatkan Peran Dinas ESDM sebagai Pendamping Teknis Desa:
  • Aksi: Pemerintah Provinsi dan Kabupaten harus mengalokasikan anggaran melalui APBD untuk program pendampingan teknis yang proaktif. Dinas ESDM tidak boleh hanya menunggu proposal, tetapi harus bertindak sebagai konsultan teknis bagi pemerintah desa yang ingin memanfaatkan Dana Desa untuk proyek energi.
  • Tujuan: Memberikan bantuan teknis dalam penyusunan studi kelayakan sederhana, desain teknis, Rencana Anggaran Biaya (RAB), pemilihan teknologi PLTS/PLTMH yang sesuai, hingga pengawasan konstruksi. Ini akan menjembatani kesenjangan kapasitas yang menjadi hambatan utama pemanfaatan Dana Desa untuk sektor energi.
  • Keluaran: Peningkatan jumlah dan kualitas proposal proyek energi dari desa, serta meningkatnya tingkat keberhasilan implementasi proyek.
  1. Integrasi Elektrifikasi Pedesaan ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah:
  • Aksi: Memastikan bahwa target dan strategi elektrifikasi desa-desa terisolir menggunakan EBT secara eksplisit dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan strategis daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 86 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
  • Tujuan: Menjadikan elektrifikasi pedesaan sebagai prioritas pembangunan daerah yang resmi, sehingga mendapatkan alokasi anggaran dan perhatian politik yang memadai, serta menyelaraskan perencanaan dari atas ke bawah (top-down) dengan aspirasi dari bawah ke atas (bottom-up) yang terjaring melalui Musrenbang.
  • Keluaran: Kebijakan elektrifikasi yang terintegrasi, konsisten, dan didukung oleh anggaran yang jelas.

Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat (Kementerian ESDM, Kemendes PDTT) dan PT PLN

Pemerintah Pusat dan BUMN terkait memiliki peran sebagai penentu kebijakan makro, penyedia pendanaan skala besar, dan pelaksana teknis utama.

  1. Menjadikan Banten Selatan sebagai Lokus Prioritas Program EBT Off-Grid:
  • Aksi: Kementerian ESDM dan PLN perlu memasukkan Kabupaten Lebak dan Pandeglang sebagai salah satu wilayah prioritas dalam program nasional untuk elektrifikasi daerah terpencil berbasis EBT, serupa dengan program PETDES yang telah sukses di Indonesia Timur.63
  • Tujuan: Mengalokasikan sumber daya dari APBN dan penugasan khusus kepada PLN untuk membangun PLTS Komunal atau PLTMH di desa-desa yang paling sulit dijangkau oleh jaringan konvensional.64
  • Keluaran: Akselerasi signifikan dalam penutupan kesenjangan elektrifikasi di Banten.
  1. Menyederhanakan Regulasi dan Petunjuk Teknis Dana Desa untuk Energi:
  • Aksi: Kemendes PDTT, bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, perlu menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis) yang lebih sederhana, praktis, dan spesifik mengenai penggunaan Dana Desa untuk proyek energi.87
  • Tujuan: Mengurangi beban administrasi bagi pemerintah desa. Juknis ini idealnya mencakup template atau contoh RAB, spesifikasi teknis minimum untuk peralatan PLTS/PLTMH skala desa, dan panduan langkah-demi-langkah dari perencanaan hingga pelaporan.
  • Keluaran: Menurunkan ambang batas bagi desa untuk dapat mengakses dan mengelola dana bagi proyek energi secara akuntabel.
  1. Memperluas Program Pelatihan dan Sertifikasi Operator Lokal:
  • Aksi: Kementerian ESDM melalui PPSDM KEBTKE, bekerja sama dengan mitra pembangunan seperti UNDP, perlu memperbanyak dan memperluas jangkauan program pelatihan dan sertifikasi bagi operator PLTS/PLTMH yang berasal dari masyarakat desa setempat.89
  • Tujuan: Menciptakan kader-kader teknis di tingkat desa yang mampu melakukan O&M dasar, sehingga menjamin keberlanjutan operasional aset energi komunal. Program ini harus memprioritaskan partisipasi perempuan untuk mendorong inklusivitas.92
  • Keluaran: Terbentuknya ekosistem SDM lokal yang mendukung keberlanjutan proyek EBT di pedesaan.

Model Implementasi Terpadu yang Diusulkan: Proyek Percontohan "Gotong Royong Energi"

Sebagai langkah konkret, direkomendasikan untuk meluncurkan proyek percontohan di beberapa desa paling membutuhkan di Kabupaten Lebak dan/atau Pandeglang dengan menerapkan model implementasi terpadu yang disebut "Gotong Royong Energi". Model ini memiliki struktur sebagai berikut:

  • Pembiayaan Investasi Awal (CAPEX): Menggunakan skema pembiayaan kolaboratif (gotong-royong) dari berbagai sumber:
  • Dana Desa: Digunakan untuk membiayai komponen padat karya dan sumber daya lokal, seperti pekerjaan sipil (pembangunan pondasi, rumah pembangkit), pengadaan material lokal, dan upah tenaga kerja dari masyarakat setempat.55
  • APBD Kabupaten/Provinsi: Dialokasikan untuk pengadaan komponen teknologi utama yang memerlukan impor atau biaya tinggi, seperti panel surya, turbin mikrohidro, dan inverter.
  • CSR/Kemitraan Swasta: Dijajaki untuk melengkapi kekurangan dana atau menyediakan komponen spesifik, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan yang beroperasi di Banten.
  • Pengelolaan Operasi dan Pemeliharaan (O&M):
  • Aset yang terbangun diserahkan pengelolaannya sepenuhnya kepada BUMDes yang telah dibentuk dan diperkuat kapasitasnya sebelum proyek dimulai.
  • BUMDes merekrut operator lokal yang telah mengikuti pelatihan dan sertifikasi dari program pemerintah.
  • Skema Keberlanjutan Finansial:
  • Melalui Musyawarah Desa, ditetapkan iuran energi bulanan yang harus dibayar oleh setiap rumah tangga penerima manfaat.
  • Besaran iuran dihitung untuk menutupi seluruh biaya O&M, termasuk gaji operator, biaya perawatan rutin, dan yang terpenting, alokasi dana cadangan (dana depresiasi) untuk penggantian komponen (misalnya, baterai setiap 5-7 tahun, inverter setiap 10-15 tahun). Ini adalah kunci untuk memutus siklus proyek mangkrak.

Rekomendasi Jangka Panjang: Menuju Ketahanan Energi Melalui Microgrid

Untuk jangka panjang, bagi klaster-klaster desa yang letaknya berdekatan, strategi harus berevolusi dari sekadar elektrifikasi menjadi pembangunan ketahanan energi.

  • Aksi: Mengembangkan jaringan listrik mikro (microgrid) yang menghubungkan beberapa PLTS Komunal dan/atau PLTMH di satu kawasan.
  • Tujuan: Jaringan microgrid ini dapat beroperasi dalam dua mode. Pada kondisi normal, ia dapat terhubung ke jaringan utama PLN (grid-connected), memungkinkan jual-beli listrik. Namun, saat terjadi bencana alam yang memutus jaringan utama, microgrid ini dapat secara otomatis beralih ke "mode pulau" (islanded mode), memastikan pasokan listrik untuk layanan-layanan kritis (puskesmas, kantor desa, sekolah, pompa air, menara komunikasi) tetap menyala.51
  • Keluaran: Transformasi dari kondisi rentan energi menjadi kawasan dengan ketahanan energi yang tinggi, yang mampu bertahan dan pulih lebih cepat dari guncangan bencana. Ini bukan lagi sekadar proyek elektrifikasi, melainkan investasi strategis dalam ketahanan dan keberlanjutan wilayah Banten Selatan.

Akses Elektrifikasi dan Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Pedesaan Provinsi Banten | EcoJustice.online

Analisis Komprehensif Desa Belum Teraliri Listrik dan Peta Jalan Solusi Energi Terbarukan di Jawa Barat